Sejarah MOS dan Transformasinya
Masa Orientasi Siswa (MOS) adalah kegiatan yang ditujukan bagi peserta didik baru yang telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda. MOS kini sudah dihapus dan digantikan dengan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
Sebelum adanya MPLS, para siswa baru di jenjang pendidikan menengah dan atas mengikuti kegiatan MOS saat baru masuk sekolah. Kegiatan ini berlangsung selama beberapa hari sebelum dimulainya proses belajar.
Sejarah Plonco dan Perploncoan
Kegiatan MOS memiliki sejarah panjang yang dahulu dikenal dengan istilah plonco atau perploncoan, yang sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Dalam buku Bunga Rampai dari Sejarah Volume 2 oleh Mohammad Roem, diceritakan bagaimana pengalamannya diplonco ketika masuk Stovia (Sekolah Dokter Bumiputera) pada 1924. Roem menggambarkan bahwa perploncoan sudah bertahun-tahun dilaksanakan tanpa insiden yang melampaui batas karena pengawasan yang ketat.
Asal Usul Kata “Perploncoan”
Kata perploncoan berasal dari kata “plonco” yang artinya kepala gundul. Penggundulan pada masa perploncoan kemungkinan besar kali pertama dilakukan pada masa pendudukan Jepang. Menurut Rahardjo Darmanto Djojodibroto dalam buku Tradisi Kehidupan Akademik, kata perploncoan pertama kali digunakan sebagai pengganti ontgroening.
Evolusi dan Penolakan Terhadap Perploncoan
Pada masa revolusi kemerdekaan, perploncoan terus dilakukan, misalnya di Universitas Indonesia pada April 1949. Perploncoan dianggap sebagai sisa kolonialisme dan feodalisme, sehingga pernah terjadi penolakan pada kegiatan ini oleh partai dan organisasi komunis seperti PKI dan CGMI. Akhirnya, perploncoan dilarang oleh pemerintah dan diganti dengan berbagai istilah seperti Masa Kebaktian Taruna (1963), Masa Prabakti Mahasiswa atau Mapram (1968), Pekan Orientasi Studi (1991), Orientasi Studi Pengenalan Kampus (Ospek), Orientasi Perguruan Tinggi (OPT), dan akhirnya menjadi Masa Orientasi Siswa (MOS). Beberapa tahun terakhir, MOS diubah menjadi Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
Tujuan MOS
Dikutip dari situs resmi sma.kemdikbud.go.id (22/7/2024), kegiatan MOS atau saat ini MPLS sebenarnya, MPLS memiliki tujuan positif bukan ajang balas dendam. Agenda MOS yang saat ini jadi MPLS adalah untuk menyambut murid baru dan hampir dilaksanakan oleh seluruh sekolah atau kampus. Tujuan utama kegiatan ini adalah untuk sarana perkenalan antara siswa dengan lingkungan barunya di sekolah tersebut, baik itu perkenalan antar siswa baru, dengan kakak kelas, ataupun guru dan karyawan lainnya. Selain itu, MOS juga dijadikan sebagai wahana untuk melatih kedisiplinan, ketahanan mental, dan mempererat tali persaudaraan, sehingga bisa menjadi sarana untuk membentuk karakter siswa.
Kontroversi dan Dampak Negatif MOS
Meskipun memiliki tujuan positif, praktik MOS sering menyimpang. Beberapa kasus seputar kegiatan MOS pernah terjadi di Indonesia dan cukup mencoreng dunia pendidikan. Beberapa peserta MOS dikabarkan cedera bahkan sampai meninggal dunia karena kelelahan setelah mengikuti kegiatan MOS yang menguras energi. MOS juga dikenal sebagai kegiatan yang merepotkan, dengan atribut yang aneh dan tidak relevan. Baca juga informasi tentang Apa tujuan utama dari MPLS?
Psikolog pendidikan dan Ketua Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA), Seto Mulyadi (Kak Seto), menyatakan bahwa MOS sebaiknya diganti dengan kegiatan yang lebih bermanfaat karena dianggap sebagai ajang balas dendam kakak kelas kepada juniornya. Kak Seto mengatakan MOS di Indonesia tidak mengandung unsur edukatif yang kreatif, tetapi lebih mengarah kepada perploncoan siswa baru. Karena itu, untuk memutus rantai perploncoan, MOS sebaiknya dihapus atau diganti dengan program yang benar-benar mendidik dengan pengawasan ketat.
Pengalaman Pribadi
Ada yang punya pengalaman MOS tak terlupakan saat pertama kali masuk sekolah?